PROPOSAL
PENELITIAN
PENGEMBANGAN
KULTUR PESANTREN ANAK
(IDENTIFIKASI
FAKTOR DOMINAN DALAM PENGEMBANGAN KULTUR DI PESANTREN HIDAYATUL MUBTADI’IEN
BANTUL)
DIUSULKAN OLEH:
RIA PUTRI PALUPIJATI (10110241009/ 2010)
FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
A.
Judul
Pengembangan Kultur Pesantren Anak
(Identifikasi Faktor Dominan dalam
Pengembangan Kultur di Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Bantul )
B.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan
pesantren merupakan salah satu pendidikan tertua di Indonesia. Keberadaannya
mengiringi kehadiran Islam sebagai salah satu saluran dakwah yang dipandang
cukup efektif dalam mengajarkan santri agar memiliki pengetahuan agama yang
mapan sehingga kelak bisa mengajarkan kepada orang lain. Kesinambungan generasi
pemuka agama dan pelaku dakwah Islam dapat dibina dan dikader melalui pesantren
itu. Secara lebih rinci, M. Arifin (1985) mengemukakan arti dari pondok
pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui
masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks) di mana santri-santri
menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang
sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leader-ship
seorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang bersifat
kharismatik serta independen dalam segala hal.
Tujuan
dari pendidikan di pondok pesantren secara umum lebih condong kepada aspek
keagamaan yang akan menjadi fondasi ilmu-ilmu umum yang diterima santri melalui
pendidikan di madrasah, termasuk madrasah ibtidaiyah yang setara dengan sekolah
dasar. Namun tujuan dari pendidikan di ponpes dengan pendidikan nasional di
Indonesia tidak jauh berbeda. Mastuhu, dalam Mujamil Qomar (2008), menyebutkan
tujuan umum pesantren adalah membina warga negara agar berkepribadian Muslim
sesuai dengan ajaran-ajaran agama Islam dan menanamkan rasa keagamaan tersebut
pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai orang yang berguna
bagi agama, masyarakat dan negara. Sedangkan menurut pasal 3 UU No.20 tahun
2003 tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan
pesantren disini merupakan salah satu lembaga pendidikan di Indonesia yang
dapat dikembangkan kulturnya melalui
kultur sekolah yang nantinya dapat diadaptasikan sebagai kultur pesantren itu
sendiri. Dari beberapa hasil penelitian dan pakar pendidikan menyebutkan salah
satu yang bepengaruh besar dalam meningkatkan kualitas sekolah yaitu pengembangan
kultur sekolah yang positif.
Santri-santri
yang tersebar di pesantren di Indonesia sangat beragam, mulai dari berbagai
suku, jenis kelamin dan rentang usia, termasuk di dalamnya adalah pesantren
anak-anak usia sekolah dasar. Di kabupaten Bantul, terdapat sebuah pondok
pesantren yang dikhususkan bagi anak usia Madrasah Ibtidayah. Pondok pesantren yang dikhususkan untuk anak
ini menimbulkan kultur sendiri yang berbeda dibandingkan dengan pondok
pesantren untuk remaja atau dewasa. Tanpa bisa dipungkiri, kultur yang ada
dalam institusi pendidikan sangat berpengaruh pada esensi tujuan dan kualitas
pendidikan yang ada pada institusi tersebut.
Hanya
saja, usia pesantren yang begitu tua membuat pesantren tidak memiliki korelasi
yang signifikan mengenai pengembangan kultur positif yang ada didalamnya
seperti nilai-nilai demokrasi, dan tuntutan globalisasi dimasyarakat. Pesantren
hanya melakukan tradisi atau kebiasaan yang dilakukan pendahulunya tanpa
melakukan perubahan untuk mengikuti perkembangan zaman. Kenyataan ini
menggambarkan bahwa kebanyakan pesantren mempunyai salah satu faktor dominan
yang membuat kultur pesantren tetap seperti itu. Faktor dominan yang
mempengaruhi kultur pesantren ini memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing-masing.
Selain
itu masalah juga timbul pada tugas seorang kyai yang multifungsi yaitu sebagai
guru, mubballigh, sekaligus penentu kebijakan tertinggi dipesantren juga
menjadi masalah tersendiri untuk pelaksanaan kultur pesatren ini. Pola pengambilan keputusan yang menganut
sistem monomanajemen dan monoadministrasi serta hubungan informal antara warga
pesantren. Pola pendidikan pesantren yang pasif juga menjadi kendala tersendiri
dalam proses pembelajarannya. Usia santri di pesantren anak ini juga tergolong
cukup muda karena berkisar usia 7 sampai 12 tahun, sesuai usia perkembangannnya
anak usia ini sangat terpengaruh oleh lingkungan sosial sekiar. Dunia
sosio-emosional anak semakin kompleks dan berbeda pada masa ini. Interaksi
keluarga dan teman sebaya memiliki peran penting. Jika lingkungan pesantren
yang tidak sehat maka anak akan memiliki kebiasaan tidak yang tidak sehat pula.
Oleh
karena itu, penelitian tentang Pengembangan
Kultur Pesantren Anak, perlu dilaksanakan guna mengetahui gambaran dan
mengidentifikasi faktor dominan yang mempengaruhi tentang kultur pesantren anak
di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Kabupaten Bantul. Harapannya agar kultur yang
ada di dalamnya dapat diidentifikasikan factor dominan yang membawa kearah
kultur positif dan negatif dan memberikan saran agar kultur negatif yang ada
dalam pondok pesantren tersebut dapat diperbaiki.
C.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan bahwa betapa pentingnya mengidentifikasi
faktor dominan pengembangan kultur pesantren untuk meningkatkan kualitas sumber
daya yang ada didalamnya yang nantinya akan menjadi para tokoh dan pemuka agama
dimasyarakat, identifikasi masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Belum
adanya korelasi yang signifikan antara usia pesantren yang ada dengan
pengembangan kultur positif.
2.
Beberapa
pesantren belum mengetahui bahwa: pengembangan kultur pesantren akan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia didalamnya.
3.
Pondok
pesantren yang dikhususkan untuk anak ini menimbulkan kultur sendiri yang
berbeda dibandingkan dengan pondok pesantren untuk remaja atau dewasa
4.
Kebanyakan
pesantren hanya melakukan tradisi atau kebiasaan yang dilakukan pendahulunya
tanpa melakukan perubahan untu mengikuti perkembangan zaman.
5.
Tugas
seorang kyai yang multifungsi yaitu sebagai guru, mubbaligh, sekaligus penentu
kebijakan tertinggi dipesantren.
6.
Pola
pengambilan keputusan yang menganut sistem monomanajemen dan
monoadministrasi serta hubungan informal
antara warga pesantren.
7.
Pola
pembelajaran pesantren yang masih bersifat pasif.
8.
Usia
santri di pesantren anak yang masih cukup muda untuk bisa hidup mandiri dan
disiplin akan peraturan ketat yang ada dipesantren anak.
D.
Batasan Masalah
Dalam
penelitian kualitatif masalah pada umumnya masih samar-samar, sangat umum dan
dalam tahap rabaan. Selanjutnya bisa difokuskan kedalam hal yang spesifik.
Karena itu masalah penelitian budaya, dalam hal ini adalah penelitian
kualitatif dalam bidang pendidikan di pesantren masih sangat dimungkinkan untuk
berubah di tengah jalan. Perubahan itu sering dipengaruhi oleh fenomena nyata
yang terjadi dilapangan.
Penelitian
ini dibatasi pada gambaran kultur pondok pesantren anak dan masalah faktor
dominan yang mempengaruhi pengembangan kultur
pesantren. Adapun yang akan diteliti, pertama perilaku kiai, ustad
maupun ustadzah, pengelola pesantren. Kedua, kultur artifak berupa dokumentasi,
prestasi, dan benda. Ketiga, pesan-pesan verbal. Keempat, nilai-nilai yang
terkandung dalam kultur perilaku, artifak dan pesan-pesan verbal.
E.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
gambaran kultur pesantren anak di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Bantul
?
2.
Apakah faktor dominan yang mempengaruhi kultur
pesantren anak di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Bantul ?
F.
Tujuan Penelitian
1.
Mendapatkan
gambaran kultur pesantren anak di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien
Bantul.
2.
Mengetahui
faktor dominan yang mempengaruhi kultur pesantren anak di Pondok Pesantren
Hidayatul Mubtadi’ien Bantul.
G.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
a.
Mengungkapkan
faktor dominan yang mempengaruhi pengembangan kultur pesantren.
b.
Mendapatkan
suatu rekomendasi yang dapat dilakukan warga pesantren agar memperoleh dan
meningkatkan kultur pesantren positif serta menghilangkan kultur pesantren yang
negatif.
2. Manfaat Teoritis
a.
Sebagai
bahan perbandingan bagi penelitian kultur pesantren.
b.
Sebagai
bahan masukan bagi pengembangan teori dalam pendidikan dan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan.
c.
Sebagai
pengembangan ilmu kebijakan pendidikan khususnya pada kajian kultur pesantren.
H.
Kajian Teori
1. Kultur
Sekolah
Konsep
kultur di dunia pendidikan berasal dari kultur tempat kerja di dunia industri,
yakni merupakan situasi yang akan memberikan landasan dan arah untuk
berlangsungnya suatu proses pembelajaran secara efisien dan efektif (Hanum,
2008). Kultur didefinisikan sebagai suatu pola pemahaman terhadap fenomena
sosial, yang terekspresikan secara implisit maupun eksplisit (Greetz dalam
Hanum, 2008).
Kultur
sekolah merupakan pola nilai, keyakinan dan tradisi yang terbentuk melalui
sejarah sekolah (Deal dan Peterson dalam Hanum, 2008). Kultur sekolah merupakan
pola makna yang dipancarkan secara historis yang mencakup norma, nilai,
keyakinan, seremonial, ritual, tradisi dan mitos dalam derajad yang bervariasi
oleh warga sekolah (Stolp dan Smith dalam Hanum, 2008). Dengan demikian kultur
sekolah dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual,
mitos dan kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah (Mardapi
dalam Hanum, 2008).
Sedangkan
kultur yang ada di pesantren sendiri pada dasarnya sama dengan konsep kultur
sekolah karena pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan yang memiliki
tujuan yang sama seperti sekolah-sekolah pada umumnya. Dekripsi dari kultur
sekolah sendiri adalah pola makna yang dipancarkan secara historis yang
mencakup norma, nilai, keyakinan, seremonial, ritual, tradisi, dan mitos dalam
derajad yang bervariasi oleh warga sekolah (Stolp dan Smith dalam Hanum, 2008).
Kebudayaan
sekolah adalah a complex set of beliefs,
values and traditions, ways of thinking and behaving yang membedakannya
dari institusi-institusi lainnya (Vembriarto dalam Efianingrum, 2009).
Kebudayaan sekolah memiliki unsur-unsur penting, yaitu :
1.
Letak,
lingkungan, dan prasarana fisik sekolah gedung sekolah, mebelair, dan
perlengkapan lainnya)
2.
Kurikulum
sekolah yang memuat gagasan-gagasan maupun fakta-fakta yag menjadi keseluruhan
program pendidikan
3.
Pribadi-pribadi
yang merupakan warga sekolah yang
terdiri atas siswa, guru, non teaching specialist, dan tenaga administrasi
4.
Nilai-nilai
moral, sistem peraturan, dan iklim kehidupan sekolah.
2.
Kultur Pesantren
Terminologi
Pesantren menurut M. Arifin dalam buku Mujamil Qomar adalah suatu lembaga
pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan
system asrama (komplek) dimana santri-santri menerima pendidikan agama melalui
system pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari
leardership seseorang atau beberapa orang kiai dengan ciri-ciri khas yang
bersifat karismatik serta independen dalam segala hal. Sedangkan lembaga
Research Islam (Pesantren Luhur) mendefinisikan pesantren adalah suatu tempat
yang tersedia untuk para santri dalam menerima pelajaran-pelajaran agama Islam
sekaligus tempat berkumpul dan tempat tinggalnya.
Tradisi
keilmuan di pesantren adalah tradisi keilmuan yang sudah berumur sanagt tua,
dimulai sejak kemapanan pranata-pranata Islam pada abad ke-13 dan tidak bisa
dilepaskan dari tradisi keilmuan yang ada di Islam sendiri. Sedangkan misi
pesantren yang akan membentuk suatu kultur pesantren itu sendiri adalah
menerapkan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah dan atau kurikulum yang
berorientasi pada perguruan di Timur Tengah.
Kultur
yang ada dipesantren ini juga menemui banyak kendala, diantaranya adalah (1)
orientasi kebelakang atau salaf-oriented masih jauh lebih kuat daripada
orientasi ke depan (2) ruang rasio, common sense belum diminati di dunia
pesantren (3) budaya tulis menulis yang selama ini menghilang dari dunia
pesantren (4) santri yang lebih dipersiapkan menjadi ‘abd Allah daripada
khalifat Allah (Nafi’, M. Dian. 2007)
Padahal
tujuan pendidikan pesantren itu sendiri menurut kuntowijoyo dalam Mujamil Qomar
adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat
atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi
masyarakat tetapi rasuk, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana
kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti Sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri,
bebas, dan teguh dalam keprbadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan
kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat (‘Izz al-Islam wa al-Muslimin) dan
mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia
Sedangkan
kultur pesantren itu tergantung pada tujuan pesantren itu sendiri. Artinya mau
dibawa kearah mana pesantren pasti akan membentuk suatu kultur, adat kebiasaan
dan nilai keyakinan yang dipegang oleh warga pesantren. Secara spesifik,
beberapa pesantren yang tergabung dalam Forum Pesantren merumuskan beragam
tujuan pendidikannya, yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok; yaitu
pembentukan akhlak/kepribadian, penguatan kompetensi santri, dan penyebaran
ilmu.
Menurut
Haidar dalam buku Mujamil Qomar Berbagai model pesantren bermunculan, demikian
pula variasinya. Pesantren memiliki unsur-unsur minimal: 1) Kiai yang mendidik
dan mengajar, 2) Santri yang belajar, dan 3) Masjid.
Kategori
pesantren terkadang dipandang dari system pendidikan yang dikembangkan.
Pesantren dalam pandangan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: kelompok
pertama, memiliki santri yang belajar dan tinggal bersama kiai, kurikulum
tergantung kiai, dan pengajaran secara individual. Kelompok kedua, memiliki
madrasah, kurikulum tertentu, pengajaran bersifat aplikasi, kiai memberikan
pengajaran secara umum dalam waktu tertentu, santri bertempat tinggal si asrama
untuk mempelajari pengetahuan agama, santri belajar di sekolah, madrasah,
bahkan perguruan tinggi umum atau agama di luar, kiai sebagai pengawas dan
pembina mental.
Ada
juga yang membagi pesantren menjadi lima kelompok: pertama, hanya terdiri dari
masjid dan rumah kiai; kedua, terdiri dari masjid, rumah kiai, dan pondok
(asrama); ketiga, memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), pendidikan
formal; keempat, memiliki masjid, rumah kiai, pondok (asrama), pendidikan
formal, dan pendidikan ketrampilan; dan kelima, memiliki masjid, rumah kiai,
pondok (asrama), madrasah, dan bangunan-bangunan fisik lainnya.
Ahmad
Qadry Abdillah Azizy membagi pesantren atas dasar kelembagaannya yang dikaitkan
dengan system pengajarannya menjadi lima kategori: 1) Pesantren yang
menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik
yang hanya memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum;
2) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah
dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional; 3)
Pesantren yang hanya mengajarkan
ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniyah; 4) Pesantren yang hanya sekedar
menjadi tempat pengajian (majelis ta’lim); dan 5) Pesantren untuk asrama
anak-anak belajar sekolah umum dan mahasiswa.
Tiga
peran penting pesantren dalam masyarakat Indonesia: 1) Sebagai pusat
berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam tradisional, 2) Sebagai penjaga dan
pemelihara keberlangsungan Islam tradisional, dan 3) Sebagai pusat reproduksi
ulama. Lebih dari itu pesantren tidak hanya memainkan ketiga peran tersebut,
tetapi juga menjadi pusat.
3. Pengembangan
Kultur sekolah
Pengembangan
kultur sekolah kurang lebih sama dengan perkembangan budaya organisasi lainnya.
Harapannya pengembangan budaya organisasi adalah menciptakan budaya unggul.
Menciptakan budaya unggul menurut Pendapat Cocld dan Piramid (2007:58,59)
paling tidak ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu: (1) mempunyai visi untuk
unggul, untuk mewujudkan budaya unggul, visi akbar yang menggetarkan harus
digerakkan; (2) memiliki kepemimpinan yang memberi contoh, kepemimpinan yang
berkompeten, professional, dan inspiratif, harus memberi contih kepada
karyawan; dan (3) memperbaiki lingkungan organisasi, paradigm para pemimpin
harus berubah sesuai dengan kondisi yang berubah.
Pendapat
Cocld dan Piramid ini didukung oleh Kotter & Heskett (1999:94) yang mengatakan
bahwa factor yang unggul dalam pengembangan budaya adalah kepemimpinan yang
kompeten, yang melakukan pengembangan dalam strategi, produk, struktur,
kebijakan, personil dan budaya. Pengembangan kultur dapat meningkatkan kualitas
organisasi antara lain perubahan perilaku organisasi.
Salah
satu strategi dalam meningkatkan kualitas organisasi adalah kultur perlu
disosialisasikan dan diimplementasikan kepada anggota organisasi. Strategi
pengembangan kultur menurut pendapat Cocld & Piramid (2007:164) dapat
diimplementasikan dengan dua cara, yaitu (1) memperhatikan performance
management system, system yang mengatur dan mengarahkan pegawai. Hal ini dapat
dilakukan denngan merumuskan key performance indicator dan target yang
diturunkan dari budaya baru, dan (2)
melalui skill (hard and soft) .
Strategi
pengembangan kultur sekolah menurut pendapat Zamroni (2002:31-39), dapat
dilakukan melalui tiga tataran, yaitu sebagai berikut.
1)
Pengembangan
pada tataran spirit dan nilai-nilai
2)
Pengembangan
pada tataran teknis
3)
Pengembangan
pada tataran sosial
4. Faktor yang mempengaruhi pengembangan Kultur
Pesantren
a.
Kiai
Kiai
adalah seorang figur sentral di pesantren. Kiai sebagai manajer puncak yang
bertugas menentukan sasaran dan kebijakan, memberikan bimbingan dan pengarahan,
serta menentukan standar kinerja. Di kalangan pesantren, kiai merupakan actor
utama. Kiailah yang merintis pesantren, mengasuh, mementukan mekanisme belajar
dan kurikulum, serta mewarnai pesantren dalam kehidupan sehari-hari sesuai
dengan keahlian dan kecenderungan yang dimilikinya. Karena itu karakteristik
pesantren dapat diperhatikan melalui profil kiainya (Qomar, 2007:63). Hampir
semua Kiai pimpinan pondok pesantren menjadi sedemikian otoritatif dan
berlegitimasi sosial luas berkat kapasitasnya menjadi “singa podium” dalam
media “pengajian umum”. Tidak sedikit kiai yang diukur kapasitas keilmuannya
dari jam terbangnya pada “pengajian umum”. Pondok pesantren merupakan lembaga
yang otoritatif dalam mencetak da’i yang handal untuk media seperti ini,
meskipun banyak pula Kiai ternama yang memilih tidak tampil dalam forum seperti
ini dan tetap dihormati oleh kalangan pesantren. Sedangkan tiga fungsi kiai
lainya, pertama, sebagai agen budaya. Kiai memainkan peran sebagai penyaring
budaya yang merambah masyarakat: Kedua, kiai sebagai mediator, yaitu menjadi
penghubung antara kepentingan berbagai segmen masyarakat, terutama kelompok
elite dengan kelompok masyarakat lainnya: Ketiga, sebagai makelar budaya dan
mediator. Kiai menjadi penyaring budaya sekaligus penghubung berbagai
kepentingan masyarakat (Nur Syam dalam Qomar 2007).
b.
Ustad
maupun Ustadzah
Ustad
maupun ustadzah menurut Qomar (2007:73) dapat dikelompokkan menjadi dua; yang
pertama adalah ustad senior dan yang kedua adalah ustad junior. Ustad senior
bertugas menginterpretasikan dan menjelaskan kebijakan kiai, berpartisipasi
dalam membuat keputusan operasional, dan melatih ustad junior. Sedangkan ustad
junior memiliki tugas merencanakan kegiatan sehari-hari, membagi tugas pada
para anggota, melakukan pengawasan terhadap kegiatan pada para anggota
bawahnya, mengatur material, peralatan dan perlengkapan, serta memelihara kedisiplinan.
c.
Santri
Santri berdasarkan peninjauan tindak langkahnya adalah
orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan mengikuti sunnah Rasul SAW
serta teguh pendiriannya (Hadlratus Syaikh KH Hasani Nawawi). Dalam ensiklopedi
Islam, secara tipikal aktif ada dua model santri. Pertama, santri mukim. Santri mukim adalah murid pesantren yang
berasrama di dalam pesantren dan memiliki ikatan kuat dengan elemen-elemen
pesantren. Kedua, santri kalong,
yakni santri yang tidak berasrama di dalam pesantren, tetapi menimba ilmu ke
dalam pesantren. Jadi, santri bisa disandang oleh siapapun saja dengan tidak
harus berada di dalam pesantren (santri ekologi), namun juga bisa disandang
oleh manusia yang memenuhi syarat berupa berpegang teguh pada Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan selalu istiqomah.
Santri pada pondok pesantren anak berkisar antara usia 7
sampai 12 tahun. Usia ini merupakan usia sekolah.
Menurut Piaget dalam Rita Ekka Izzati, dkk. (2008:105), masa kanak-kanak akhir
(usia 7-12 tahun) berada pada tahap operasi konkret dalam berpikir di mana
konsep yang pada awal masa anak-anak merupakan konsep yang samar-samar dan
tidak jelas sekarang lebih konkret. Anak menggunakan operasi mental untuk
memecahkan masalah-masalah yang aktual. Anak mampu menggunakan kemampuan
mentalnya untuk memecahkan masalah yang bersifat konkret. Anak mampu berpikir
logis meski masih terbatas pada situasi sekarang. Karakteristik ini akan
berpengaruh terhadap keberhasilan metode dan media yang digunakan dapat menyampaikan
pesan pengetahuan dengan baik. Komunikasi penyampaian yang baik akan memberikan
kemudahan anak untuk menyerap materi.
Selain hal yang disebutkan diatas, faktor yang
mempengaruhi pengembangan kultur pesantren dapat dilihat dari;
a.
Dokumentasi
b.
Prestasi
c.
Benda
d.
Pengelola
e.
Tata
Tertib
f.
Program
Pesantren
I.
Kerangka Pikir Penelitian
yang mempengaruhi
J.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas,
maka pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian
ini sebagai berikut :
1.
Bagaimana
implementasi pengembangan kultur pesantren anak di Pondok Pesantren Hidayatul
Mubtadi’ien Bantul ?
2.
Bagaimana
strategi pengembangan kultur pesantren anak di Pondok Pesantren Hidayatul
Mubtadi’ien Bantul ?
3.
Apa
sajakah faktor dominan kendala pengembangan kultur pesantren anak di Pondok
Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Bantul ?
4.
Mengapa
faktor dominan itu dapat mempengaruhi pengembangan kultur pesantren anak di
Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi’ien Bantul ?
K.
Jenis Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah penelitian kualitatif untuk dapat menggali tentang
gambaran pengembangan kultur pesantren yang ada di salah satu pesantren di
Kabupaten Bantul. Dari hasil penelitian tersebut akan diperoleh artifak yang dapat diamati
maupun yang tidak dapat diamati dan mengidentifikasi faktor dominan yang
mempengaruhi kultur pesantren yang ada di pondok tersebut. Selain itu, peneliti
akan melihat tentang nilai-nilai dan keyakinan yang berkembang dan
ditanamkan di pesantren sehingga dapat
menjadi suatu faktor dominan yang berkembang pada warga pondok pesanttren anak
tersebut.
L.
Subyek dan Obyek Penelitian
Subyek
penelitian dalam penelitian ini terdiri dari benda, lingkungan dan warga pondok
pesantren anak. Subyek benda dan lingkungan pesantren untuk melihat artifak
yang dapat diamati yang termasuk dalam bagian kultur pesantren, sedangkan untuk
warga pondok pesantren adalah untuk menggali informasi mengenai artifak yang
tidak bisa diamati seperti nilai, sikap, keyakinan dan kebiasaan yang
berkembang di pesantren. Sedangkan obyek penelitian dalam penelitian adalah
pondok pesantren anak Hidayatul Mubtadi’ien beserta seluruh aktifitasnya dan
warga pesantrennya
M.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data-data dilapangan
peneliti akan menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yaitu teknik wawancara,
observasi dan dokumentasi yang biasa disebut dengan trianggulasi data.
Trianggulasi data adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggabungkan
dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber yang telah ada (Sugiyono,
2007)
1.
Wawancara
Wawancara akan dilakukan pada sebagian
anggota di pesanten seperti kiai, ustad atau ustadzah, santri, dan pengelola
pesantren, untuk menggali informasi tentang kultur yang berkembang dan
ditanamkan di pesantren tersebut. Dalam penelitian ini wawancara akan dilakukan
dengan semistruktur, yaitu untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka,
di mana pihak yang diajak wawancara diminta pendapatnya, dan ide-idenya. Dalam
melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa
yang dikemukakan oleh informan (Sugiyono, 2007).
2.
Observasi
Observasi akan dilakukan untuk mengamati
kultur pesantren, nilai kepercayaan yang berkembang dan diyakini oleh warga pesantren
, interaksi antar warga pesantren, maupun tentang lingkungan fisik di pesantren sehingga dapat diketahui faktor
dominan yang mempengaruhi pengembangan kultur pesantren di pondok tersebut.
observasi akan dilakukan dengan cara observasi partisipatif aktif yaitu
observasi yang diikuti oleh peneliti sesuai apa yang dilakukan oleh narasumber
tetapi belum sepenuhnya lengkap.
3.
Dokumentasi
Dokumentasi ini dilakukan untuk memperkuat
data mengenai kultur pesantren (artifak)
yang dapat diamati. Dokumentasi ini berupa foto, video, dan data-data yang ada
dipesantren tersebut. Dokumentasi tersebut digunakan sebagai suatu bukti data.
N.
Teknik Analisis Data
Data
penelitian dikumpulkan dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Proses
analisis dilakukan dengan menggunakan model kuaitatif dari Miles dan Hubberman
(Sugiyono, 2007) sebagaimana lazim digunakan adalah:
1.
Reduksi
Data (Data Reduction)
Peneliti
memilah data yang relevan, penting dan bermakna, dan data yang tidak berguna,
untuk menjelaskan apa yang menjadi sasaran analisis. Lalu menyerdehanakan
dengan membuat fokus, klasifikasi, dan abstraksi data.
2.
Sajian
Deskripsi Data (Data Display)
Menyajikan
data secara deskriptif tentang apa yang ditemukan dalam analisis. Sajian
deskriptif dapat diwujudkan dalam narasi. Alur sajiannya sistematik.
3.
Penyimpulan/
Penarikan Kesimpulan (Conclusion/Verification)
Penarikan
kesimpulan atas apa yang disajikan merupakan intisari dari analisis yang
memberikan pernyataan.
DAFTAR PUSTAKA
Efianingrum, Ariefa. 2009. Kajian Kultur Sekolah yang Kondusif bagi Perlindungan
Anak.
Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY.
Hanum, Farida. 2008. Studi tentang Kultur Sekolah pada Sekolah Nasional Berstandar
Internasional dan Sekolah Bermutu Kurang
di Kota Yogyakarta.
Laporan
Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian
UNY.
Izatty, Rita Eka, dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta:
UNY Press.
Moleong, Lexy J. 1995. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nafi, M Dian, 2007. Praksis Pembelajaran Pesantren. Yogyakarta: PT. LKIS Pelangi
Aksara.
Qomar, Mujamil. 2007. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.
---------,2005. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi.
Jakarta: Erlangga.
Sugiyono. 2007. Memahami
Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
---------. 2010. Metode
Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sukirin. 1986. Proses Belajar
Mengajar di Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah
Buntalan,
Klaten, Jawa Tengah.
Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP Yogyakarta.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !